Note: Ini tulisan nya gak lengkap karena saya merahasiakan RS sebagai lahan praktek dan data pasien saya. Semoga bermanfaat yak coretan mahasiswi Profesi Fisioterapi ^_^
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kaki merupakan salah satu bagian tubuh yang
terpenting. Kaki menjadi penompang berat badan dan tubuh baik saat berdiri,
berjalan ataupun saat berlari serta dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Apabila terdapat suatu gangguan atau kelainan pada kaki, maka aktivitas
sehari-hari akan terhambat. Terhambatnya suatu aktivitas ditimbulkan oleh rasa
nyeri pada tumit yang tiba-tiba datang.
Salah satu gangguan yang relatif sering terjadi pada
kaki adalah calcaneus spur dan plantar fascialitis. Calcaneus spur adalah eksostosis
(pertumbuhan tulang yang tidak semestinya) di daerah tubercalcaneus, yang bentuknya seperti jalu ayam. Plantar fascialitis adalah peradangan fascia plantaris dan otot-otot fleksor
pendek kaki dimana perlekatannya pada calcaneus.
Calcaneus spur sendiri bisa
simtomatik dan asimtomatik, jadi yang menyebabkan nyeri bukan dari spur tapi
karena adanya plantar fascialitis.
Calcaneus spur terjadi
pada lebih dari 50% orang yang mengalami obesitas. Prevalensi calcaneus spur tidak dibedakan menurut
jenis kelamin tetapi mayoritas penderita calcaneus
spur disertai keluhan nyeri adalah pada wanita. Selain itu, kurang dari 50%
pasien yang mengalami achilles tendon
spur (Mentz et al., 2008). Tetapi
calcaneus spur tidak selalu
disebabkan oleh terjadinya plantar
fascialitis. Calcaneus spur
sering terjadi pada usia pertengahan, pemuda atau atlit 40% pada laki-laki.
Calcaneus spur
dan plantar fascialitis adalah dua hal yang berbeda tetapi merupakan
sebab akibat yang saling berhubungan. Calcaneus
spur terjadi pada lebih dari 50% orang berusia diatas 50 tahun, dengan atau
tanpa keluhan nyeri. Mayoritas penderita calcaneus
spur yang disertai keluhan nyeri atau terjadi plantar fascialitis adalah wanita, terutama yang berusia 40-60
tahun. Sementara itu, lebih dari 50% pasien plantar
fascialitis mempunyai calcaneus spur.
Keluhan utama akibat calcaneus spur adalah nyeri saat waktu permulaan berdiri dan
berjalan terutama pagi hari setelah bangun tidur atau istirahat/duduk lama,
yang kemudian akan berkurang setelah berjalan beberapa langkah. Calcaneus spur adalah kelainan yang
timbul sebagai kelanjutan dari plantar
fascialitis yang tidak segera ditangani/delayed
healing. Jika pasien mengalami fascitis/peradangan/perlukaan pada fascia,
maka dalam hal ini fibrolastic akan
memperbaiki dalam waktu setidaknya 6 minggu, tetapi jika dalam kurun waktu
tersebut tidak ada penyembuhan maka tubuh akan memicu osteoblast. Osteoblast
adalah zat yang membentuk tulang. Jadi, jika dalam waktu 6 minggu fascia yang
meradang tersebut tidak sembuh maka terbentuklah tulang pada area tersebut,
proses ini dinamakan kalsifikasi dan bentukan tulang yang terjadi dinamakan heel spur.
Penanganan calcaneus
spur terdiri dari operatif dan non-operatif. Pada non-operatif dilakukan dengan manipulasi biomekanik untuk
kesalahan melangkah, lokal injeksi steroid dan peranan fisioterapi dalam
mengurangi nyeri dengan menggunakan modalitas terapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian
Teori
1. Plantar Fascialitis
a. Definisi
Plantar Fascialitis
Plantar Fascialitis adalah cidera yang berlebihan sehingga
menyebabkan peradangan pada plantar fascia dan sekitar struktur perfascial, seperti periosteum calcanealis, yang mempengaruhi sekitar 10% manusia
setidaknya dalam kehidupan (Roxas, 2005). Plantar
Fascialitis adalah suatu kondisi terjadi peradangan akibat dari overstretch pada fascia plantaris (Lawson, 2007).
b. Patofisiologi
Menurut Wibowo (2011) menyatakan bahwa kondisi plantar fascialitis disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu:
1)
Proses
Degenerasi
Proses degenerasi ditandai dengan jaringan lemak yang
tebal menjadi menipis. Degenerasi menyebabkan perubahan struktur
serabut-serabut fascia. Perubahan
yang terjadi berupa peningkatan crosslink
dari serabut kolagen sehingga struktur kolagen menjadi lebih kaku dan akan
menganggu gerakan molekular dari nutrisi dan sisa metabolisme pada level
seluler, sehingga mengakibatkan berkurangnya daya regang dari struktur fascia sehingga fascia mudah mengalami cidera.
2)
Kekakuan
m. Gastrocnemius dan m. Soleus
Kekakuan pada m. Gastrocnemius
dan m. Soleus membatasi gerakan fleksi pada ankle dan menimbulkan pronasi sub-talar
yang berlebihan, sehingga terjadi stres dan penekanan pada fascia plantaris.
3)
Kelemahan
otot-otot intrinsik kaki
Kelemahan dari otot intrinsik kaki yang utama yaitu m.
Tibialis posterior pada tumit,
penambahan berat badan atau aktivitas yang berat, dan menurunnya profioseptic.
Hal tersebut mengakibatkan tarikan pada ligament
fascia, sehingga terjadi kerobekan dan timbul iritasi pada ligament plantar fascia.
4)
Kurangnya
fleksibilitas fascia
Kurangnya fleksibilitas fascia menyebabkan daya regang fascia
menurun dan akibatnya fascia
mudah mengalami cidera.
5)
Aktivitas
pembebanan yang berat dan berlebihan
Aktivitas berdiri atau berjalan yang terlalu lama
biasanya akan menimbulkan overstrecth
pada struktur fascia.
6)
Adanya
deformitas pada struktur kaki
Deformitas seperti pes
cavus dan pes planus menimbulkan
perubahan alignment dari calcaneus
sehingga mempengaruhi arcus plantaris
dalam aktivitas menumpu berat badan saat berdiri atau berjalan.
7)
Penggunaan
alas kaki yang keras
Penggunaan alas kaki yang keras menimbulkan penekanan
pada fascia.
8)
Berat
badan yang berlebihan
Berat badan yang berlebihan memberikan beban yang
besar pada kaki terutama daerah tumit, sehingga presentase tekanan yang besar
pada origo struktur fascia.
9) Rheumatoid arthritis atau gout arthritis
Pada plantar
fascialitis kronik kadang nyeri dirasakan hampir pada seluruh permukaaan
plantar dari kaki. Bahkan kadang disertai adanya nyeri pada tendon Achilles dan
calf muscle.
Nyeri dirasakan setelah adanya perubahan tingkat
aktivitas yang berhubungan dengan berdiri, berjalan atau lari. Lokasi nyeri
mulai dari bagian medial tumit pada tempat perlekatan fascia plantaris dan calcaneus
yaitu pada tuberositas calcaneus.
Nyeri kemudian menyebar diseluruh permukaan telapak kaki, tetapi ada beberapa
merasa nyeri pada arcusnya saja. Nyeri akan hilang timbul tergantung dari
tingkat aktivitas.
Mekanisme terjadinya plantar fascialitis karena adanya pembebanan yang berlebihan
menyebabkan fascia plantaris yang
mengalami degenerasi terjadi penarikan berulang sehingga menyebabkan micro injury. Adanya gaya regangan yang
konstan dan berulang menyebabkan fascia
yang merupakan lapisan luar arcus
plantaris mengalami penekanan pada origonya atau kerobekan pada tempat
perlekatannya. Kerobekan tersebut memicu tipe saraf A delta yang bermyelin
tipis menjadi aktif sehingga timbul rasa nyeri, kemudian impuls merangsang
pelepasan “P” substance ke struktur fascia sehingga memacu reaksi radang di
lokasi tersebut. Adanya peradangan mempengaruhi beberapa jaringan spesifik yang
terlibat.
Pada otot-otot akan terjadi spasme sebagai kompensasi
dan nyeri yang terjadi. Fascia plantaris yang mengalami inflamasi pada proses
penyembuhan akan fase proliferasi. Pada fase tersebut bila terjadi aktivitas
fibroblast yang berlebihan dan tidak terkontrol maka akan terjadi abnormal crosslink yang dapat menyebabkan
elastisitas fascia menurun. Penurunan elastisitas fascia menyebabkan nyeri
regang bisa fascia terulur.
Bila terus-menerus maka terjadi trauma berulang
sehingga menimbulkan inflamasi kronik yang akan memperlambat proses penyembuhan
jaringan. Proses inflamasi mempengaruhi sistem sirkulasi akan menurunkan suplai
gizi pada jaringan. Penurunan mikrosirkulasi menyebabkan penumpukan sisa-sisa
metabolisme yang dapat mengiritasi jaringan. Iritasi kimiawi dari proses radang
akan mempengaruhi konduktivitas saraf, sehingga terjadi hipersensitifitas yang
dapat menurunkan nilai ambang rangsang.
Ketika plantar fascilitis menjadi kronik sering kali
berkembang menjadi heel spur. Heel spur atau calcaneus spur merupakan suatu pertumbuhan tulang yang abnormal
pada bagian bawah tulang calcaneus yang ditimbulkan dari inflamasi fascia
plantaris dibagian bawah kaki yang menekan pada tulang calcaneus. Spur pada tulang berkembang karena fascia plantaris menarik tulang calcaneus,
reaksi terhadap beban regangan tersebut menghasilkan deposit kalsium pada
tempat perlekatan fascia sebagai mekanisme proteksi. Deposit kalsium tersebut
akan membentuk spur yang mana bila ujungnya masuk ke dalam fascia plantaris akan menimbulkan nyeri yang hebat.
Fascia merupakan bagian dari jaringan ikat padat
teratur (dense regular connective tissue)
(Tilman, 2006). Proses penyembuhan cidera jaringan ikat melalui beberapa
proses, berikut beberapa hal yang berkaitan dengan proses tersebut.
1)
Fase
Inflamasi
Bertujuan untuk memindahkan seluruh benda asing
bersamaan dengan jaringan yang mati sehingga menurunkan kemungkinan terjadinya
infeksi dan menyediakan lingkungan yang kondusif untuk penyembuhan luka yang
optimal (Tilman, 2006). Fase inflamsi terjadi sesaat setelah cidera hingga hari
ke 10. Saat jaringan lunak mengalami cidera terjadi degenerasi dari platelet,
sel Mast dan basofil mengakibatkan dilepaskannya beberapa agen. Beberapa agen
memicu respon inflamasi, sedangkan yang lain akan terlibat proses resolusi. Granulasi
dari sel Mast akan menghasilkan pelepasan beberapa zat mediator peradangan
seperti histamin, asam arasidonik dan heparin yang berperan dalam proses
angiogenik proses penyembuhan luka.
Fase inflamasi ditandai dengan gejala panas, merah dan
bengkak pada daerah trauma. Fase ini akan terjadi aktualitas nyeri yang tinggi.
proses inflamasi akut adalah proses yang diperlukan sebagai bagian dari proses
penyembuhan cidera jaringan lunak. Menurut Siburian (2008), fase inflamasi
harus dipercepat sehingga fase proliferasi dan remodelling segera dimulai dan
mempercepat proses penyembuhan.
2)
Fase
Proliferasi
Fase ini dimulai pada hari ke 2 atau 3 hingga hari ke
20, sebagai respon dari pelepasan beberapa agen oleh makrofag selama akhir dari
fase inflamasi jaringan granulasi akan mulai berkembang di area cidera.
3)
Fase
Remodelling
Selama fase remodelling derajat keteraturan penyusunan kolagen meningkat. Hal ini
berkaitan dengan gaya mekanik yang terjadi pada jaringan selama aktivitas
fisik. Selama fase remodelling, selularisasi dan vaskularisasi dari jaringan
yang baru terbentuk di area cidera akan berkurang secara bertahap. Walaupun
remodelling berlangsung bertahun-tahun tapi jaringan parut tidak akan pernah
kembali keadaan normal.
2. Konsep
Nyeri dan Proses Timbulnya Nyeri
a. Definisi
Nyeri
Nyeri adalah suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui jika seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Pada dasarnya nyeri dapat diatasi dan atau dikurangi dengan melihat jenis dan
tingkatan respon masing-masing individu (Rospond, 2010). Nyeri adalah suatu
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan secara aktual atau potensial (Wijaya, 2014).
b. Fisiologi
Nyeri
Tempat memproses sensori ada di cornu dorsalis dari medula spinalis. Serabut perifer berakhir
pada daerah tersebut dan serabut tractus sensori asenden berawal dari tempat
itu. Terdapat juga interkoneksi antara sistem neural desenden dan tractus
sensori asenden. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem
asenden harus diaktifkan. Terdapat interkoneksi neuron dalam cornu dorsalis yang
ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang
menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden disebut “gerbang”.
Kecendrungan
alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer
untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika
kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan
menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang
untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer et al., 2002).
c.
Mekanisme
Nyeri Pada Plantar Fascialitis
Nyeri
yang ditimbulkan dikarenakan oleh adanya pembebanan yang berlebihan sehingga
menyebabkan struktur fascia mengalami penekanan diikuti penarikan secara
berulang. Penekanan serta daya renggang yang konstan secara berulang-ulang
menyebabkan struktur fascia mengalami cidera pada tempat perlekatannya. Penyebab
lain adalah adanya deposit kalsium pada tulang calcaneus (calcaneus spur) dimana
apeksnya masuk ke dalam fascia plantaris sehingga menimbulkan cedera dan
dikenal dengan plantar fasciitis setempat (Sidharta, 2008).
Nyeri
pada plantar fascialitis biasanya muncul saat bangun tidur di pagi hari
saat ingin menapakan atau menjejakan kaki pertama kali ke lantai, berdiri lama,
berjalan jauh, duduk terlalu lama dan saat ingin berdiri di medial calcaneus
dan pada saat berjalan maka nyeri akan meningkat. Hal ini dikarenakan
terjadinya penguluran atau adanya beban yang berlebihan pada arcus longitudinal
atau dan hilangnya arkus longitudinal (Rustanti et al., 2014).
d.
Pengukuran
Nyeri
Intensitas
nyeri merupakan gambaran seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,
pengukuran nyeri sangat subjektif serta individual, karena intensitas yang
dirasakan sangat berbeda tiap masing-masing orang. Penilaian intensitas nyeri
menggunakan VDS (Verbal Descriptor Scale)
yang merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Terdapat
5 deskripsi yaitu tidak terasa nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat
terkontrol dan nyeri berat tidak terkontrol.
Alat VDS memungkinkan
klien memilih kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter, 2006).
B.
Medial Arch Support
1.
Definisi
dan Fungsi Medial Arch Support
Medial arch support
adalah jenis orthose yang dipasang pada bagian medial arcus longitudinal pedis.
Fungsinya sebagai shock breaker tumpuan berat badan pada kaki, support bagian
medial arcus longitudinal pedis dan memberikan stabilitas pada kaki (Nadiaty,
2015). Penggunaan pada kasus plantar
fascialitis untuk mengurangi sensasi nyeri pada kaki. Medial arch support terbuat
dari bahan sintetis yaitu soft foam.
Pada bagian medial dibentuk sebuah lengkung untuk support arcus pedis. Pada
bagian heel pada akan meredam daya tekan pada bagian heel. Tekanan pada heel
akan terdistribusi pada bagian arch
support sampai bagian forefoot.
Pada
gambar 2.4, fascia plantaris akan terulur jika terjadi gaya tekan tubuh sebagai
shock absorber. Saat terjadi
inflamasi di fascia plantaris, nyeri
akan muncul saat ada gaya tekan tubuh. Oleh sebab itu, pada daerah arcus perlu
didukung medial arch support untuk mengurangi gaya tekan tubuh sehingga
mengurangi daya stretching fascia plantaris.
C.
IR (Infra Red)
Infra Red atau sinar infra merah
sebenarnya merupakan suatu pancaran gelombang
elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700 hingga 4.000.000 Ã…. Pada dasarnya generator infra merah dibedakan
menjadi dua, yaitu:
• Non luminious :
Generator jenis ini hanya
menghasilkan/memancarkan sinar infra merah saja.
• Luminious.
Terapi
dengan menggunakan Infra Red luminous
generator sering disebut dengan “Radiant Heating”. Generator
ini tidak hanya memancarkan sinar infra merah saja tapi juga sinar visible dan
ultra violet. Meskipun demikian, presentase pancaran yang terbesar adalah sinar
infra merah.
a. Klasifikasi
sinar Infra Red berdasarkan panjang
gelombang, yaitu :
· Gelombang panjang (non
penetrating)
Panjang
gelombang diatas 12.000 Ã… sampai dengan 150.000 Ã…. Daya penetrasi sinar ini
hanya sampai pada lapisan superfisial epidermis, yaitu sekitar 0,5 mm.
· Gelombang pendek (penetrating)
Panjang
gelombang antara 7.700 – 12.000 Ã…. Daya penetrasi lebih dalam dari gelombang
paanjang, yaitu sampai jaringan sub kutan kira-kira dapat mempengaruhi secara
langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh lymphe, ujung-ujung
syaraf dan jaringan lain dibawah kulit.
b. Klasifikasi
sinar IR berdasarkanpanjang gelombang berdasarkan tipe, yaitu:
· Tipe A : panjang gelombang 780 –
1.500 mm, penetrasi dalam
· Tipe B : panjang gelombang 1.500 –
3.000 mm, penetrasi dangkal
· Tipe C : panjang gelombang 3.000 –
000 mm, penetrasi dangkal
Adapun Efek Fisiologis dan Terapeutik pada sinar
Infra merah sebagai berikut.
·
Efek fisiologis
Jika
sinar IR diabsorbsi oleh kulit maka akan menimbulkan efek thermal dan eritema
pada area yang diterapi. Infra Red
yang bergelombang pendek (7.700 Ã…-12.000 Ã…) penetrasinya sampai pada lapisan
dermis atau sampai ke lapisan dibawah kulit, sedang yang bergelombang panjang
(diatas 12.000 Ã…) penetrasinya hanya sampai pada superfisial epidermis. Dengan
adanya panas ini temperatur naik dan pengaruh lain akan terjadi, seperti:
·
Efek terapeutik
Sesuai
dengan hukum “VANT’T HOFF” bahwa suatu reaksi kimia akan dapat
dipercepat dengan adanya panas atau kenaikan temperatur akibat pemanasan.
Proses metabolisme meliputi perbaikan peningkatan pemberian oksigen dan nutrisi
kepada jaringan, begitu juga pengeluaran sampah-sampah pembakaran. Secara
garis besar dapat disebutkan sebagai berikut:
1) Relief of pain (mengurangi/menghilangkan rasa
sakit)
Penyinaran
IR merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi atau menghilangkan
rasa nyeri. Mild heating memberikan
efek sedatif sensoris yang berada pada superfisial, sedangkan Stonger heating untuk mengurangi nyeri dengan
mekanisme counter iritasi pengurangan zat “P” dari sisa-sisa metabolisme,
dengan sinar memperlancar sirkulasi darah, maka zat “P” akan terbuang. Nyeri
akibat pembengkakan, dengan sinar IR nyeri dapat mengurangi pembengkakan,
sehingga nyeri juga akan berkurang. Dengan adanya vasodilatasi akan
meningkatkan efek sedatif dan menurunkan batas ambang rasa nyeri.
2) Muscle relaxation (relaksasi otot)
Relaksasi
akan mudah dicapai bila jaringan otot tersebut dalam keadaan hangat dan rasa
nyeri tidak ada. Radiasi IR disamping dapat mengurangi rasa nyeri, dapat juga
menaikkan suhu/temperatur jaringan, sehingga bisa menghilangkan spasme otot dan
membuat otot relaksasi.
3) Increased blood supply (meningkatkan suplai darah)
Adanya
kenaikan temperatur akan menimbulkan vasodilatasi, yang akan menyebabkan
terjadinya peningkatan darah ke jaringan setempat, hal ini terutama terjadi
pada jaringan superfisial dan efek ini sangat bermanfaat untuk menyembuhkan
luka dan mengatasi infeksi di jaringan superfisial. Dengan demikian maka sinar
IR ini sangat membantu meningkatkan suplai darah ke jaringan yang diobati.
4) Menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme (Elimination
of Waste Products)
Penyinaran
di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula psudoifera (kelenjar keringat)
di seluruh badan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan pembuangan
sisa-sisa hasil metabolisme melalui keringat. Pengaruh ini sangat bermanfaat
untuk kondisi arthritis, terutama yang mengenai banyak sendi.
Pada
dasarnya metode pemasangan lampu diatur sedemikian rupa sehingga sinar yang
berasal dari lampu jatuhnya tegak lurus terhadap jaringan yang diterapi, baik
untuk lampu luminous maupun non-luminous. Jarak penyinaran untuk lampu
non-luminous antara 45-60 cm, sedangkan lampu luminous antara 35-45 cm dengan
waktu terapi selama 15 menit. Jarak ini bukanlah merupakan jarak yang mutlak,
karena masih dipengaruhi oleh toleransi pasien atau besarnya watt lampu.
D. ESWT (Extracorporeal
Shockwave Therapy)
ESWT (Extracorporeal Shock Wave Therapy) merupakan terapi yang menggunakan shock
wave (gelombang kejut) dengan
impuls tekanan mikrodetik, tergantung dari energi yang digunakan. Dapat mengurangi
nyeri dan fragmentasi deposit kalsifikasi, sehingga dapat dipertimbangkan
sebagai terapi alternatif dalam penanganan nyeri tumit dengan spur.
ESWT
dapat menurunkan nyeri dan mengurangi spur. ESWT energi tinggi
biasa digunakan untuk disintegrasi batu urologi. Dilaporkan keberhasilan
aplikasi ESWT energi tinggi pada penanganan pseudoarthrosis dan
delayed
union of fracture, menyatakan bahwa stimulasi
osteogenesis dengan shock
wave (gelombang kejut) dapat berpengaruh pada
destruksi kortikal lokal dan fragmentasi dan efek yang sama diharapkan terjadi
pada disintegrasi kalsifikasi dalam penanganan tendinosis calcaneus.
Sejak tahun 1992, ESWT energi rendah digunakan untuk penanganan nyeri,
khususnya spur.
Shock wave (gelombang kejut) adalah sonic
pulse (gelombang suara) yang ditandai dengan parameter fisik seperti
puncak tekanan yang tinggi (kadang-kadang mencapai 100 MPa,
umumnya sekitar 50-80 MPa), peningkatan tekanan yang cepat pada awal
(kurang dari 10 ns), low-tensile amplitude, siklus yang pendek (biasanya
kurang dari 10 μs), dan frekuensi spektrum yang luas (16-20 Hz).
ESWT digunakan
untuk penanganan beberapa kelainan muskuloskeletal, seperti tendinitis kalsifikasi
pada bahu, epicondilitis lateral, tendinopati Achilles dan patella, plantar fasciitis kronis,
osteonekrosis head
femur, dan fraktur delayed union
dan non-union.
Prinsip penggunaan ESWT pada kondisi ini tergantung pada stimulasi penyembuhan
jaringan lunak dengan hiperemia lokal, neovaskulerisasi, pengurangan kalsifikasi,
penghambatan reseptor nyeri dan/atau denervasi untuk menghilangkan nyeri dan
penyembuhan menetap dari proses inflamasi kronis. ESWT menjadi terapi
alternatif, yang bisa menghilangkan nyeri dan mencegah untuk dilakukannya
terapi invasif.
DAFTAR
PUSTAKA
Lawson,
K. 2007. Standard of Care: Plantar
Fasciitis. Brighamand Women’s Hospital Department of Rehabilitation Services
Physical Therapy.
Mahendrayani, Najua. 2014. Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Kasus Calcaneus Spurs Billateral di RSO Prof. DR. Soeharso
Surakarta. (KTI). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nadiaty,
AH. 2015. Pengaruh Medial Arch Support
Terhadap Peningkatan Keseimbangan Statis Mahasiswa Jurusan Ortotik Prostetik
POLTEKKES KEMENKES Surakarta. Surakarta: Prostetik Poltekkes Kemenkes
Surakarta.
Roxas,
M. 2005. Plantar fasciitis: diagnosis and therapeutic considerations. Alt Med Rev. 2005; 10:83-93.
Siburian.
2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Smeltzer,
S.C dan Bare, B.G. 2002. Textbook of
Medical-Surgical Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Syafi’i, Muhammad. 2014. Perbedaan Pengaruh Antara Medial Arch Support Dan Facitis Plantaris Exercise Terhadap Penurunan Derajat Nyeri Kaki
(Facitis Plantaris). (Tesis). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Tamsuri,
A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri.
Jakarta : EGC
Tandiyo, Desy Kurniawati. 2015. ESWT (Extracorporeal Shock Wave Therapy) untuk Calcaneal Spur. Surakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas. CDK-235/ vol. 42 no. 12.
Tillman,
M. 2006. Environmental Toxicants: Human
Exposures and Their Health Effect. New Jersey: Jhon Wiley & Son.
Wibowo,
H. 2011. Pencegahan dan Penatalaksanaan
Cedera Olahraga. Jakarta: EGC
Wijaya,
IPA. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Nyeri Pasien
Pasca Bedah Abdomen Dalam Kontek Asuhan Keperawatan di RSUD Badung Bali. Jurnal Dunia Kesehatan: 47-57.