Sunday, April 15, 2018

MANAGEMEN FISIOTERAPI PADA KASUS CALCANEUS SPUR


Note: Ini tulisan nya gak lengkap karena saya merahasiakan RS sebagai lahan praktek dan data pasien saya. Semoga bermanfaat yak coretan mahasiswi Profesi Fisioterapi ^_^
  
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kaki merupakan salah satu bagian tubuh yang terpenting. Kaki menjadi penompang berat badan dan tubuh baik saat berdiri, berjalan ataupun saat berlari serta dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Apabila terdapat suatu gangguan atau kelainan pada kaki, maka aktivitas sehari-hari akan terhambat. Terhambatnya suatu aktivitas ditimbulkan oleh rasa nyeri pada tumit yang tiba-tiba datang.
Salah satu gangguan yang relatif sering terjadi pada kaki adalah calcaneus spur dan plantar fascialitis. Calcaneus spur adalah eksostosis (pertumbuhan tulang yang tidak semestinya) di daerah tubercalcaneus, yang bentuknya seperti jalu ayam. Plantar fascialitis adalah peradangan fascia plantaris dan otot-otot fleksor pendek kaki dimana perlekatannya pada calcaneus. Calcaneus spur sendiri bisa simtomatik dan asimtomatik, jadi yang menyebabkan nyeri bukan dari spur tapi karena adanya plantar fascialitis.
Calcaneus spur terjadi pada lebih dari 50% orang yang mengalami obesitas. Prevalensi calcaneus spur tidak dibedakan menurut jenis kelamin tetapi mayoritas penderita calcaneus spur disertai keluhan nyeri adalah pada wanita. Selain itu, kurang dari 50% pasien yang mengalami achilles tendon spur (Mentz et al., 2008). Tetapi calcaneus spur tidak selalu disebabkan oleh terjadinya plantar fascialitis. Calcaneus spur sering terjadi pada usia pertengahan, pemuda atau atlit 40% pada laki-laki.
Calcaneus spur dan plantar fascialitis adalah dua hal yang berbeda tetapi merupakan sebab akibat yang saling berhubungan. Calcaneus spur terjadi pada lebih dari 50% orang berusia diatas 50 tahun, dengan atau tanpa keluhan nyeri. Mayoritas penderita calcaneus spur yang disertai keluhan nyeri atau terjadi plantar fascialitis adalah wanita, terutama yang berusia 40-60 tahun. Sementara itu, lebih dari 50% pasien plantar fascialitis mempunyai calcaneus spur.
Keluhan utama akibat calcaneus spur adalah nyeri saat waktu permulaan berdiri dan berjalan terutama pagi hari setelah bangun tidur atau istirahat/duduk lama, yang kemudian akan berkurang setelah berjalan beberapa langkah. Calcaneus spur adalah kelainan yang timbul sebagai kelanjutan dari plantar fascialitis yang tidak segera ditangani/delayed healing. Jika pasien mengalami fascitis/peradangan/perlukaan pada fascia, maka dalam hal ini fibrolastic akan memperbaiki dalam waktu setidaknya 6 minggu, tetapi jika dalam kurun waktu tersebut tidak ada penyembuhan maka tubuh akan memicu osteoblast. Osteoblast adalah zat yang membentuk tulang. Jadi, jika dalam waktu 6 minggu fascia yang meradang tersebut tidak sembuh maka terbentuklah tulang pada area tersebut, proses ini dinamakan kalsifikasi dan bentukan tulang yang terjadi dinamakan heel spur.
Penanganan calcaneus spur  terdiri dari operatif dan  non-operatif. Pada non-operatif  dilakukan dengan manipulasi biomekanik untuk kesalahan melangkah, lokal injeksi steroid dan peranan fisioterapi dalam mengurangi nyeri dengan menggunakan modalitas terapi.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Kajian Teori
1.      Plantar Fascialitis
a.    Definisi Plantar Fascialitis
Plantar Fascialitis adalah cidera yang berlebihan sehingga menyebabkan peradangan pada plantar fascia dan sekitar struktur perfascial, seperti periosteum calcanealis, yang mempengaruhi sekitar 10% manusia setidaknya dalam kehidupan (Roxas, 2005). Plantar Fascialitis adalah suatu kondisi terjadi peradangan akibat dari overstretch pada fascia plantaris (Lawson, 2007).
b.   Patofisiologi
Menurut Wibowo (2011) menyatakan bahwa kondisi plantar fascialitis disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1)   Proses Degenerasi
Proses degenerasi ditandai dengan jaringan lemak yang tebal menjadi menipis. Degenerasi menyebabkan perubahan struktur serabut-serabut fascia. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan crosslink dari serabut kolagen sehingga struktur kolagen menjadi lebih kaku dan akan menganggu gerakan molekular dari nutrisi dan sisa metabolisme pada level seluler, sehingga mengakibatkan berkurangnya daya regang dari struktur fascia sehingga fascia mudah mengalami cidera.
2)   Kekakuan m. Gastrocnemius dan m. Soleus
Kekakuan pada m. Gastrocnemius dan m. Soleus  membatasi gerakan fleksi pada ankle dan menimbulkan pronasi sub-talar yang berlebihan, sehingga terjadi stres dan penekanan pada fascia plantaris.
3)   Kelemahan otot-otot intrinsik kaki
Kelemahan dari otot intrinsik kaki yang utama yaitu m. Tibialis posterior pada tumit, penambahan berat badan atau aktivitas yang berat, dan menurunnya profioseptic. Hal tersebut mengakibatkan tarikan pada ligament fascia, sehingga terjadi kerobekan dan timbul iritasi pada ligament plantar fascia.
4)   Kurangnya fleksibilitas fascia
Kurangnya fleksibilitas fascia menyebabkan daya regang fascia menurun dan akibatnya fascia mudah mengalami cidera.
5)   Aktivitas pembebanan yang berat dan berlebihan
Aktivitas berdiri atau berjalan yang terlalu lama biasanya akan menimbulkan overstrecth pada struktur fascia.
6)   Adanya deformitas pada struktur kaki
Deformitas seperti pes cavus dan pes planus menimbulkan perubahan alignment dari calcaneus sehingga mempengaruhi arcus plantaris dalam aktivitas menumpu berat badan saat berdiri atau berjalan.
7)   Penggunaan alas kaki yang keras
Penggunaan alas kaki yang keras menimbulkan penekanan pada fascia.
8)   Berat badan yang berlebihan
Berat badan yang berlebihan memberikan beban yang besar pada kaki terutama daerah tumit, sehingga presentase tekanan yang besar pada origo struktur fascia.
9)   Rheumatoid arthritis atau gout arthritis
Pada plantar fascialitis kronik kadang nyeri dirasakan hampir pada seluruh permukaaan plantar dari kaki. Bahkan kadang disertai adanya nyeri pada tendon Achilles dan calf muscle.
Nyeri dirasakan setelah adanya perubahan tingkat aktivitas yang berhubungan dengan berdiri, berjalan atau lari. Lokasi nyeri mulai dari bagian medial tumit pada tempat perlekatan fascia plantaris dan calcaneus yaitu pada tuberositas calcaneus. Nyeri kemudian menyebar diseluruh permukaan telapak kaki, tetapi ada beberapa merasa nyeri pada arcusnya saja. Nyeri akan hilang timbul tergantung dari tingkat aktivitas.
Mekanisme terjadinya plantar fascialitis karena adanya pembebanan yang berlebihan menyebabkan fascia plantaris yang mengalami degenerasi terjadi penarikan berulang sehingga menyebabkan micro injury. Adanya gaya regangan yang konstan dan berulang menyebabkan fascia yang merupakan lapisan luar arcus plantaris mengalami penekanan pada origonya atau kerobekan pada tempat perlekatannya. Kerobekan tersebut memicu tipe saraf A delta yang bermyelin tipis menjadi aktif sehingga timbul rasa nyeri, kemudian impuls merangsang pelepasan “P” substance ke struktur fascia sehingga memacu reaksi radang di lokasi tersebut. Adanya peradangan mempengaruhi beberapa jaringan spesifik yang terlibat.
Pada otot-otot akan terjadi spasme sebagai kompensasi dan nyeri yang terjadi. Fascia plantaris yang mengalami inflamasi pada proses penyembuhan akan fase proliferasi. Pada fase tersebut bila terjadi aktivitas fibroblast yang berlebihan dan tidak terkontrol maka akan terjadi abnormal crosslink yang dapat menyebabkan elastisitas fascia menurun. Penurunan elastisitas fascia menyebabkan nyeri regang bisa fascia terulur.
Bila terus-menerus maka terjadi trauma berulang sehingga menimbulkan inflamasi kronik yang akan memperlambat proses penyembuhan jaringan. Proses inflamasi mempengaruhi sistem sirkulasi akan menurunkan suplai gizi pada jaringan. Penurunan mikrosirkulasi menyebabkan penumpukan sisa-sisa metabolisme yang dapat mengiritasi jaringan. Iritasi kimiawi dari proses radang akan mempengaruhi konduktivitas saraf, sehingga terjadi hipersensitifitas yang dapat menurunkan nilai ambang rangsang.
Ketika plantar fascilitis menjadi kronik sering kali berkembang menjadi heel spur. Heel spur atau calcaneus spur merupakan suatu pertumbuhan tulang yang abnormal pada bagian bawah tulang calcaneus yang ditimbulkan dari inflamasi fascia plantaris dibagian bawah kaki yang menekan pada tulang calcaneus. Spur pada tulang berkembang karena fascia plantaris menarik tulang calcaneus, reaksi terhadap beban regangan tersebut menghasilkan deposit kalsium pada tempat perlekatan fascia sebagai mekanisme proteksi. Deposit kalsium tersebut akan membentuk spur yang mana bila ujungnya masuk ke dalam fascia plantaris akan menimbulkan nyeri yang hebat.
Fascia merupakan bagian dari jaringan ikat padat teratur (dense regular connective tissue) (Tilman, 2006). Proses penyembuhan cidera jaringan ikat melalui beberapa proses, berikut beberapa hal yang berkaitan dengan proses tersebut.
1)   Fase Inflamasi
Bertujuan untuk memindahkan seluruh benda asing bersamaan dengan jaringan yang mati sehingga menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi dan menyediakan lingkungan yang kondusif untuk penyembuhan luka yang optimal (Tilman, 2006). Fase inflamsi terjadi sesaat setelah cidera hingga hari ke 10. Saat jaringan lunak mengalami cidera terjadi degenerasi dari platelet, sel Mast dan basofil mengakibatkan dilepaskannya beberapa agen. Beberapa agen memicu respon inflamasi, sedangkan yang lain akan terlibat proses resolusi. Granulasi dari sel Mast akan menghasilkan pelepasan beberapa zat mediator peradangan seperti histamin, asam arasidonik dan heparin yang berperan dalam proses angiogenik proses penyembuhan luka.
Fase inflamasi ditandai dengan gejala panas, merah dan bengkak pada daerah trauma. Fase ini akan terjadi aktualitas nyeri yang tinggi. proses inflamasi akut adalah proses yang diperlukan sebagai bagian dari proses penyembuhan cidera jaringan lunak. Menurut Siburian (2008), fase inflamasi harus dipercepat sehingga fase proliferasi dan remodelling segera dimulai dan mempercepat proses penyembuhan.
2)   Fase Proliferasi
Fase ini dimulai pada hari ke 2 atau 3 hingga hari ke 20, sebagai respon dari pelepasan beberapa agen oleh makrofag selama akhir dari fase inflamasi jaringan granulasi akan mulai berkembang di area cidera.
3)   Fase Remodelling
Selama fase remodelling derajat keteraturan  penyusunan kolagen meningkat. Hal ini berkaitan dengan gaya mekanik yang terjadi pada jaringan selama aktivitas fisik. Selama fase remodelling, selularisasi dan vaskularisasi dari jaringan yang baru terbentuk di area cidera akan berkurang secara bertahap. Walaupun remodelling berlangsung bertahun-tahun tapi jaringan parut tidak akan pernah kembali keadaan normal.

2.      Konsep Nyeri dan Proses Timbulnya Nyeri
a.    Definisi Nyeri
Nyeri adalah suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui jika seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Pada dasarnya nyeri dapat diatasi dan atau dikurangi dengan melihat jenis dan tingkatan respon masing-masing individu (Rospond, 2010). Nyeri adalah suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan kerusakan jaringan secara aktual atau potensial (Wijaya, 2014).
b.   Fisiologi Nyeri
Tempat memproses sensori ada di cornu dorsalis dari medula spinalis. Serabut perifer berakhir pada daerah tersebut dan serabut tractus sensori asenden berawal dari tempat itu. Terdapat juga interkoneksi antara sistem neural desenden dan tractus sensori asenden. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Terdapat interkoneksi neuron dalam cornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden disebut “gerbang”.
Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer et al., 2002).
c.       Mekanisme Nyeri Pada Plantar Fascialitis
Nyeri yang ditimbulkan dikarenakan oleh adanya pembebanan yang berlebihan sehingga menyebabkan struktur fascia mengalami penekanan diikuti penarikan secara berulang. Penekanan serta daya renggang yang konstan secara berulang-ulang menyebabkan struktur fascia mengalami cidera pada tempat perlekatannya. Penyebab lain adalah adanya deposit kalsium pada tulang calcaneus (calcaneus spur) dimana apeksnya masuk ke dalam fascia plantaris sehingga menimbulkan cedera dan dikenal dengan plantar fasciitis setempat (Sidharta, 2008).
Nyeri pada plantar fascialitis biasanya muncul saat bangun tidur di pagi hari saat ingin menapakan atau menjejakan kaki pertama kali ke lantai, berdiri lama, berjalan jauh, duduk terlalu lama dan saat ingin berdiri di medial calcaneus dan pada saat berjalan maka nyeri akan meningkat. Hal ini dikarenakan terjadinya penguluran atau adanya beban yang berlebihan pada arcus longitudinal atau dan hilangnya arkus longitudinal (Rustanti et al., 2014).
d.      Pengukuran Nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran nyeri sangat subjektif serta individual, karena intensitas yang dirasakan sangat berbeda tiap masing-masing orang. Penilaian intensitas nyeri menggunakan VDS (Verbal Descriptor Scale) yang merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Terdapat 5 deskripsi yaitu tidak terasa nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat terkontrol dan nyeri berat tidak terkontrol.
Alat VDS memungkinkan klien memilih kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter, 2006).

B.       Medial Arch Support
1.      Definisi dan Fungsi Medial Arch Support
Medial arch support adalah jenis orthose yang dipasang pada bagian medial arcus longitudinal pedis. Fungsinya sebagai shock breaker tumpuan berat badan pada kaki, support bagian medial arcus longitudinal pedis dan memberikan stabilitas pada kaki (Nadiaty, 2015). Penggunaan pada kasus plantar fascialitis untuk mengurangi sensasi nyeri pada kaki. Medial arch support  terbuat dari bahan sintetis yaitu soft foam. Pada bagian medial dibentuk sebuah lengkung untuk support arcus pedis. Pada bagian heel pada akan meredam daya tekan pada bagian heel. Tekanan pada heel akan terdistribusi pada bagian arch support sampai bagian forefoot.
Pada gambar 2.4, fascia plantaris akan terulur jika terjadi gaya tekan tubuh sebagai shock absorber. Saat terjadi inflamasi di fascia plantaris, nyeri akan muncul saat ada gaya tekan tubuh. Oleh sebab itu, pada daerah arcus perlu didukung medial arch support untuk mengurangi gaya tekan tubuh sehingga mengurangi daya stretching fascia plantaris.


C.    IR (Infra Red)
Infra Red atau sinar infra merah sebenarnya merupakan suatu pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700 hingga 4.000.000 Ã….  Pada dasarnya generator infra merah dibedakan menjadi dua, yaitu:
• Non luminious :
Generator jenis ini hanya menghasilkan/memancarkan sinar infra merah saja.
• Luminious.
Terapi dengan menggunakan Infra Red luminous generator sering disebut dengan “Radiant Heating”. Generator ini tidak hanya memancarkan sinar infra merah saja tapi juga sinar visible dan ultra violet. Meskipun demikian, presentase pancaran yang terbesar adalah sinar infra merah.
a.    Klasifikasi sinar Infra Red berdasarkan panjang gelombang, yaitu :
·  Gelombang panjang (non penetrating)
Panjang gelombang diatas 12.000 Ã… sampai dengan 150.000 Ã…. Daya penetrasi sinar ini hanya sampai pada lapisan superfisial epidermis, yaitu sekitar 0,5 mm.
·  Gelombang pendek (penetrating)
Panjang gelombang antara 7.700 – 12.000 Ã…. Daya penetrasi lebih dalam dari gelombang paanjang, yaitu sampai jaringan sub kutan kira-kira dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh lymphe, ujung-ujung syaraf dan jaringan lain dibawah kulit.
b.    Klasifikasi sinar IR berdasarkanpanjang gelombang berdasarkan tipe, yaitu:
·  Tipe A : panjang gelombang 780 – 1.500 mm, penetrasi dalam
·  Tipe B : panjang gelombang 1.500 – 3.000 mm, penetrasi dangkal
·  Tipe C : panjang gelombang 3.000 – 000 mm, penetrasi dangkal
Adapun Efek Fisiologis dan Terapeutik pada sinar Infra merah sebagai berikut.
·       Efek fisiologis
Jika sinar IR diabsorbsi oleh kulit maka akan menimbulkan efek thermal dan eritema pada area yang diterapi. Infra Red yang bergelombang pendek (7.700 Ã…-12.000 Ã…) penetrasinya sampai pada lapisan dermis atau sampai ke lapisan dibawah kulit, sedang yang bergelombang panjang (diatas 12.000 Ã…) penetrasinya hanya sampai pada superfisial epidermis. Dengan adanya panas ini temperatur naik dan pengaruh lain akan terjadi, seperti:
·       Efek terapeutik
Sesuai dengan hukum “VANT’T HOFF” bahwa suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan adanya panas atau kenaikan temperatur akibat pemanasan. Proses metabolisme meliputi perbaikan peningkatan pemberian oksigen dan nutrisi kepada jaringan, begitu juga  pengeluaran sampah-sampah pembakaran. Secara garis besar dapat disebutkan sebagai berikut:
1) Relief of pain (mengurangi/menghilangkan rasa sakit)
Penyinaran IR merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Mild heating memberikan efek sedatif sensoris yang berada pada superfisial, sedangkan Stonger heating untuk mengurangi nyeri dengan mekanisme counter iritasi pengurangan zat “P” dari sisa-sisa metabolisme, dengan sinar memperlancar sirkulasi darah, maka zat “P” akan terbuang. Nyeri akibat pembengkakan, dengan sinar IR nyeri dapat mengurangi pembengkakan, sehingga nyeri juga akan berkurang. Dengan adanya vasodilatasi akan meningkatkan efek sedatif dan menurunkan batas ambang rasa nyeri.
2) Muscle relaxation (relaksasi otot)
Relaksasi akan mudah dicapai bila jaringan otot tersebut dalam keadaan hangat dan rasa nyeri tidak ada. Radiasi IR disamping dapat mengurangi rasa nyeri, dapat juga menaikkan suhu/temperatur jaringan, sehingga bisa menghilangkan spasme otot dan membuat otot relaksasi.
3) Increased blood supply (meningkatkan suplai darah)
Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan vasodilatasi, yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan darah ke jaringan setempat, hal ini terutama terjadi pada jaringan superfisial dan efek ini sangat bermanfaat untuk menyembuhkan luka dan mengatasi infeksi di jaringan superfisial. Dengan demikian maka sinar IR ini sangat membantu meningkatkan suplai darah ke jaringan yang diobati.
4) Menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme (Elimination of Waste Products)
Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula psudoifera (kelenjar keringat) di seluruh badan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan pembuangan sisa-sisa hasil metabolisme melalui keringat. Pengaruh ini sangat bermanfaat untuk kondisi arthritis, terutama yang mengenai banyak sendi.
Pada dasarnya metode pemasangan lampu diatur sedemikian rupa sehingga sinar yang berasal dari lampu jatuhnya tegak lurus terhadap jaringan yang diterapi, baik untuk lampu luminous maupun non-luminous. Jarak penyinaran untuk lampu non-luminous antara 45-60 cm, sedangkan lampu luminous antara 35-45 cm dengan waktu terapi selama 15 menit. Jarak ini bukanlah merupakan jarak yang mutlak, karena masih dipengaruhi oleh toleransi pasien atau besarnya watt lampu.

D.    ESWT (Extracorporeal Shockwave Therapy)
ESWT (Extracorporeal Shock Wave Therapy) merupakan terapi yang menggunakan shock wave (gelombang kejut) dengan impuls tekanan mikrodetik, tergantung dari energi yang digunakan. Dapat mengurangi nyeri dan fragmentasi deposit kalsifikasi, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif dalam penanganan nyeri tumit dengan spur.
ESWT dapat menurunkan nyeri dan mengurangi spur. ESWT energi tinggi biasa digunakan untuk disintegrasi batu urologi. Dilaporkan keberhasilan aplikasi ESWT energi tinggi pada penanganan pseudoarthrosis dan delayed union of fracture, menyatakan bahwa stimulasi osteogenesis dengan shock wave (gelombang kejut) dapat berpengaruh pada destruksi kortikal lokal dan fragmentasi dan efek yang sama diharapkan terjadi pada disintegrasi kalsifikasi dalam penanganan tendinosis calcaneus. Sejak tahun 1992, ESWT energi rendah digunakan untuk penanganan nyeri, khususnya spur.
Shock wave (gelombang kejut) adalah sonic pulse (gelombang suara) yang ditandai dengan parameter fisik seperti puncak tekanan yang tinggi (kadang-kadang mencapai 100 MPa, umumnya sekitar 50-80 MPa), peningkatan tekanan yang cepat pada awal (kurang dari 10 ns), low-tensile amplitude, siklus yang pendek (biasanya kurang dari 10 μs), dan frekuensi spektrum yang luas (16-20 Hz).
ESWT digunakan untuk penanganan beberapa kelainan muskuloskeletal, seperti tendinitis kalsifikasi pada bahu, epicondilitis lateral, tendinopati Achilles dan patella, plantar fasciitis kronis, osteonekrosis head femur, dan fraktur delayed union dan non­-union. Prinsip penggunaan ESWT pada kondisi ini tergantung pada stimulasi penyembuhan jaringan lunak dengan hiperemia lokal, neovaskulerisasi, pengurangan kalsifikasi, penghambatan reseptor nyeri dan/atau denervasi untuk menghilangkan nyeri dan penyembuhan menetap dari proses inflamasi kronis. ESWT menjadi terapi alternatif, yang bisa menghilangkan nyeri dan mencegah untuk dilakukannya terapi invasif.


DAFTAR PUSTAKA

Lawson, K. 2007. Standard of Care: Plantar Fasciitis. Brighamand Women’s Hospital Department of Rehabilitation Services Physical Therapy.

Mahendrayani, Najua. 2014. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Calcaneus Spurs Billateral di RSO Prof. DR. Soeharso Surakarta. (KTI). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nadiaty, AH. 2015. Pengaruh Medial Arch Support Terhadap Peningkatan Keseimbangan Statis Mahasiswa Jurusan Ortotik Prostetik POLTEKKES KEMENKES Surakarta. Surakarta: Prostetik Poltekkes Kemenkes Surakarta.

Roxas, M. 2005. Plantar fasciitis: diagnosis and therapeutic considerations. Alt Med Rev. 2005; 10:83-93.

Siburian. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Textbook of Medical-Surgical Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Syafi’i, Muhammad. 2014. Perbedaan Pengaruh Antara Medial Arch Support Dan Facitis Plantaris Exercise Terhadap Penurunan Derajat Nyeri Kaki (Facitis Plantaris). (Tesis). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC

Tandiyo, Desy Kurniawati. 2015. ESWT (Extracorporeal Shock Wave Therapy) untuk Calcaneal Spur. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas. CDK-235/ vol. 42 no. 12.

Tillman, M. 2006. Environmental Toxicants: Human Exposures and Their Health Effect. New Jersey: Jhon Wiley & Son.

Wibowo, H. 2011. Pencegahan dan Penatalaksanaan Cedera Olahraga. Jakarta: EGC

Wijaya, IPA. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Nyeri Pasien Pasca Bedah Abdomen Dalam Kontek Asuhan Keperawatan di RSUD Badung Bali. Jurnal Dunia Kesehatan: 47-57.