BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi pancasila sebagai ideologi negara. Mempersatukan
bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa. Fungsi ini
sangat penting bagi bangsa Indonesia karena mempersatukan masyarakat majemuk
yang sering terancam perpecahan membimbing dan mengarahkan bangsa Indonesia
menuju tujuannya. Pancasila sebagai pemberi gambaran, motivasi, dan cita-cita
bangsa, serta menggerakkan bangsa dalam melakukan pembangunan nasional dalam
pengamalan Pancasila memberikan tekad untuk menngembangkan dan memeliharakan
identitas bangsa.Pancasila memberi gambaran identitas bangsa Indonesia menyoroti
keadaan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita-cita yang terkandung
dalam pancasila tersebut.
Ideologi berasal dari dua kata yaitu idea dan logos.
Idea berarti pemikiran, konsep, atau gagasan. Logos berarti : pengetahuan. Arti
sederhana dalam Ideologi adalah : pengetahuan tentang ide-ide , keyakinan, dan
gagasan. Ideologi bukanlah sekadar pengetahuan teoritis belaka, tetapi
merupakan suatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah satu
pilihan yang jelas menuntut komitmen untuk mewujudkannya. Semakin mendalam
kesadaran ideologi seseorang semakin tinggi pula rasa komitmennya untuk
melaksanakannya. Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang meyakini
ideologinya sebagai ketentuan normatif yang harus ditaati dalam hidup
bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Fungsi pancasila sebagai ideologi negara, yaitu :
1. Mempersatukan
bagsa, memelihara dan mengukuhkan persatun dan kesatuan bangsa. Fungsi ini
sangat penting bagi bangsa Indonesia karena mempersatukan masyarakat majemuk
yang sering terancam perpecahan
2. membimbing
dan mengarahkan bangsa Indonesia menuju tujuannya. Pancasila sebagai pemberi
gambaran, motivasi, dan cita-cita bangsa, serta menggerakan bangsa dalam
melakukan pembangunan nasional dalam pengamalan pancasila
3. Memberikan
tekat untuk menngembangkan dan memeliharakan identitas bangsa.Pancasila memberi
gambaran identitas bangsa Indonesia
4. Menyoroti
keadaan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita" yang
terkandung dalam pancasila tersebut. Pancasila menjadi ukuram untuk melakukan
kritik mengenai keadaan bangsa dan negara
Fungsi pancasila sebagai
dasar negara, yaitu :
1. Dasar
berdirinya dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejarah
menunjukan bahwa Pancasila telah berperan dalam pembentukan negara
Indonesia merdeka. Lebih dari itu Pancasila juga menjadi landasan bagi
pengelolaan NKRI
2. Dasar
kegiatan penyelenggaraan negara. Negara Indonesia didirikkan untuk mewujudkan
cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia, sebagai mana diwujudkan
dalam pembukaan UUD 1945. Para penyelenggara negara dituntut untuk memimpin
pencapaian tujuan itu.
3. Dasar
partisipasi warga negara. Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak
dan kewajiban yang sama untuk mempertahankan negara dan berpartisipasi dalam
upaya mencapai tujuan bangsa
4. Dasar
pergaulan warga negara. Pancasila bukan hanya menjadi dasar perhubungan
warga negara Indonesia dengan negara Indonesia, melainkan juga menjadi dasar
perhubungan antar sesama warga negara Indonesia.
5. Dasar
sumber hukum nasional. Seluruh kegiatan penyelenggara negara dan
earga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara haruslah
didasarkan pada hukum yang berlaku. Semua peraturan perundang undangan/hukum
yang dibentuk oleh penyelenggaraan negara harus didasarkan pada pancasila.
Fungsi ideologi adalah sebagai berikut :
a. Struktur
kognitif, yaitu keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk
memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian alam sekitarnya
b. Orientasi
dasar dengan membuka wawasan dan memberikan makna serta menunjukkan tujuan
dalam kehidupan manusia
c. Norma-norma
yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak
d. Bekal dan
jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya
e. Kekuatan
yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan
mencapai tujuan
f. Pendidikan
bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati, serta melakukan
tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di
dalamnya.
A. PENGERTIAN IDEOLOGI
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Katanya
sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk
mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai
visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan
Weltanschauung), sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau
sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan
kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).
Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah
'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan
aturan-aturan dalam kehidupan. Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh
tentang alam semesta, manusia, dan hidup serta tentang apa yang ada sebelum dan
setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam
kehidupan. Dari definisi di atas, sesuatu bisa disebut ideologi jika memiliki
dua syarat, yakni: Ide yang meliputi aqidah 'aqliyyah’ dan penyelesaian masalah
hidup. Jadi, ideologi harus unik karena harus bisa memecahkan problematika
kehidupan.
Metode yang meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan
ideologi. Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah
lahirnya ideologi itu. Jadi, suatu ideologi bukan semata berupa pemikiran
teoretis seperti filsafat, melainkan dapat dijelmakan secara operasional dalam
kehidupan. Menurut definisi kedua tersebut, apabila sesuatu tidak memiliki dua
hal di atas, maka tidak bisa disebut ideologi, melainkan sekedar paham.
B. IDEOLOGI POLITIK
Dalam ilmu sosial, ideologi
politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana
seharusnya masyarakat bekerja dan menawarkan ringkasan order masyarakat
tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur
kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan. Teori komunis Karl Marx, Friedrich Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap
sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada abad 20. Contoh
ideologi lainnya termasuk: anarkisme, kapitalisme, komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, demokrasi kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial.
Di Indonesia sendiri, sebelum era ‘66 atau pra masa
Orde Baru menguasai pemerintahan, dikenal beberapa aliran atau ideologi politik
yang menurut Herbert Feith dan Lance Castles membentuk teori tapal kuda, yang
dari kiri ke kanan berturut-turut, yaitu : 1. Komunisme (PKI), 2. Nasionalisme
Radikal (PNI), 3. Sosialisme Demokrat (PSI), 3. Tradisionalisme Jawa (PIR), 5.
Islam (Masyumi dan NU). Perkembangan ideologi politik pada masa Orde Baru
nyatanya dipropaganda dengan menetapkan Pancasila, selain sebagai pandangan
hidup dan dasar negara, ia juga harus diambil sebagai ideologi politik suatu
partai. Sehingga kemudian yang tersedia hanya Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang beraliran Islam, Golongan Karya (Golkar) yang pragmatis sebagai
partai pemerintah, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang nasionalisme
radikal. Ketiga wadah politik ini ‘wajib’ menggunakan Pancasila sebagai ideologi
politiknya masing-masing.
Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari "moral entrepreneurs", yang kadangkala bertindak dengan tujuan mereka
sendiri. Ideologi politik adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi atau simbol dari gerakan sosial, institusi, kelas, atau grup
besar yang memiliki tujuan politik dan budaya yang sama. Merupakan dasar dari
pemikiran politik yang menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya.
C. IDEOLOGI POLITIK INDONESIA
Dari pengertian di atas, ideologi politik Indonesia
boleh jadi disamakan dengan ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila.
Sebelumnya perlu dipahami bahwa Pancasila memiliki dua peranan dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Pertama, sebagai pandangan hidup, yakni sebagai pedoman
tingkah laku bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila, yang telah diwariskan kepada
bangsa Indonesia merupakan sari dan puncak dari sosial budaya yang senantiasa melandasi
tata kehidupan sehari-hari. Sumber nilai tersebut antara lain, adalah keyakinan
adanya Tuhan YME, asas kekeluargaan, asas musyawarah mufakat, asas gotong
royong, serta asas tenggang rasa dan tepo seliro.
Dari nilai-nilai inilah kemudian lahir adanya sikap
yang mengutamakan persatuan, kerukunan, dan kesejahteraan yang sebenarnya sudah
lama dipraktekkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Pandangan hidup bagi suatu
bangsa seperti Pancasila sangat penting artinya karena merupakan pegangan yang
mantap, agar tidak terombang-ambing oleh keadaan apapun, bahkan dalam era
globalisasi dewasa ini.
Kedua, Pancasila sebagai dasar negara, yang tercantum
di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan yuridis konstitusional
dan dapat disebut sebagai ideologi negara. Sebagai dasar negara, Pancasila
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga semua peraturan
hukum/ketatanegaraan yang bertentangan dengan Pancasila harus dicabut.
Perwujudan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, dalam bentuk perundang-undangan
bersifat imperatif (mengikat) bagi : 1. Penyelenggara negara, 2. Lembaga
kenegaraan, 3. Lembaga kemasyarakatan, 4. Warga negara Indonesia di mana pun
berada, dan 5. Penduduk di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Intinya, Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan
ketatanegaraan negara yang meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi,
sosial-budaya dan hankam. Dalam tinjauan yuridis konstitusional, Pancasila
sebagai dasar negara berkedudukan sebagai norma objektif dan norma tertinggi
dalam negara, serta sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana
tertuang di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, jo. Tap. MPR No. V/MPR/1973,
jo. Tap. MPR No.IX/MPR/1978.
Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila mengalami
berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan
penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi
ideologi negara Pancasila. Dengan kata lain dalam kedudukan seperti ini
Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup
bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi
kepentingan politik penguasa. Berdasarkan kenyataan tersebut, gerakan reformasi
berupaya untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar
negara Republik Indonesia. Hal ini direalisasikan melalui Ketetapan Sidang
Istimewa MPR tahun 1998 No. XVIII/MPR/1998 disertai dengan pencabutan P-4 dan
pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Orsospol di Indonesia,
serta mencabut mandat MPR yang diberikan kepada Presiden atas kewenangannya
untuk membudayakan Pancasila melalui P-4 dan asas tunggal Pancasila.
Monopoli Pancasila demi kepentingan kekuasaan penguasa
hal ini merupakan dampak yang sangat serius atas manipulasi Pancasila. Dewasa
ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa
Pancasila merupakan label politik Orde Baru. Sehingga mengembangkan dan serta
mengkaji Pancasila dianggap akan mengembalikan kewibawaan Orde Baru.
D. KRISIS IDENTITAS DAN IDEOLOGI
Dari penjelasan di atas, permasalahan yang muncul
kemudian adalah krisis identitas dan tak memiliki ideologi yang menjadi gambaran
umum partai-partai politik di Indonesia dewasa ini. Dampaknya tentu membuat
arah partai tak jelas dan sulit membedakan partai satu dengan yang lain. Para
tokoh dan elite parpol pun tak mampu memberikan contoh panutan yang baik bagi
kader dan masyarakat. Mereka lebih sibuk gontok-gontokan dan bagi-bagi
kekuasaan ketimbang mengembangkan konsep pemikiran alternatif mengenai
bagaimana membenahi persoalan-persoalan bangsa.
Pada masa sebelum tahun 1945, peran partai-partai
politik kita jelas, yakni sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan. Tahun
1950, konteks parpol secara umum untuk mengisi kemerdekaan atau membangun
Indonesia merdeka. Pada masa demokrasi terpimpin Soekarno, partai dituntut
menjadi bagian dari revolusi yang belum selesai. Kemudian, pada zaman Soeharto,
partai dituntut dan direkayasa sedemikian rupa untuk mendukung stabilitas,
pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi. Pasca-Soeharto, parpol-parpol dituntut
untuk merumuskan mau di bawa ke mana bangsa ini. Namun hal ini belum dilakukan
meski secara parsial memang muncul. Demokratisasi, pemerintahan yang bersih,
antikorupsi, penegakan supremasi hukum, dan segala macam itu semua partai
punya. Cuma bagaimana hal itu diperjuangkan, belum sepenuhnya solid dalam visi
parpol-parpol.
Kondisi seperti itu menyebabkan sulit membedakan satu partai dengan partai lainnya.
Kondisi seperti itu menyebabkan sulit membedakan satu partai dengan partai lainnya.
Akibatnya, pilihan pemilih terhadap partai lebih
banyak didasarkan pada faktor-faktor yang sifatnya tak rasional, seperti
kultural, agama, dan ketokohan (figur yang populer), tanpa dilandasi
pengetahuan yang memadai mengenai visi partai bersangkutan tentang masa depan
bangsa ini. Kondisi seperti itu juga membuat energi parpol-parpol habis untuk
soal-soal yang sifatnya tidak substansial. Konflik-konflik selalu muncul
menjelang atau sesudah kongres atau muktamar partai karena tidak ada diskusi
atau perdebatan yang signifikan dalam partai mengenai soal-soal yang lebih
mendasar. Yang ada hanya ribut-ribut bagi kekuasaan, seperti siapa yang menjadi
ketua umum. Tidak adanya identitas ini menambah derajat kompleksitas persoalan
di dalam partai, di luar persoalan-persoalan seperti kepemimpinan dan demokrasi
internal yang tak kunjung muncul di dalam partai, sehingga akhirnya juga
memengaruhi kinerja partai secara keseluruhan.
Dalam konteks yang lebih spesifik, krisis identitas
ini antara lain bisa dilihat dari sifat keanggotaan partai-partai politik yang
tidak jelas akan dikembangkan ke mana, yakni apakah akan membuat partai kader
atau partai massa, atau gabungan kedua-duanya? Contoh partai massa adalah
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sedangkan
contoh partai kader adalah PKS, di mana jelas ada kader-kader yang dibina.
Tidak jelasnya sifat keanggotaan itu disebabkan oleh basis massa yang tidak
jelas, kecuali partai-partai yang sejak awal identifikasinya memang kultural,
seperti PKB dengan basis massa nahdiyyin dan PAN dengan basis massa
Muhammadiyah-nya.
Meski seyogyanya, parpol itu lebih diikat oleh
kesamaan platform atau visi, bukan kesamaan identitas kultural, seperti sama-sama
NU, sama-sama Muhammadiyah, atau lainnya. Hal sama juga terjadi di Golkar, yang
ikatan anggotanya lebih karena sama-sama oportunisme, bukan karena persamaan
visi. Sedangkan gabungan partai kader dan partai massa, atau dikenal dengan
istilah catch all party (partai yang merangkul semua), berkembang antara lain
di Eropa. Dalam partai semacam ini, partai tetap mengembangkan sistem
pengaderan, tetapi di sisi lain juga mengembangkan pola massa. Dalam seleksi
kepemimpinan, tak ada persoalan dalam partai kader karena sudah jelas
jenjangnya. Dengan demikian, tidak akan terjadi ribut-ribut seperti terjadi
dalam kongres atau muktamar PKB, PAN, atau Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) lalu. Bedanya dengan partai massa, di partai massa siapa pun
bisa menclok sebagai elite partai tanpa harus melalui ikatan jenjang pengaderan
berkala. Artinya, kalau suatu partai melihat ada tokoh populer dari luar yang
bisa dimanfaatkan sebagai pemimpin partai, ia bisa ditempatkan di situ.
Selain krisis identitas, sebagian besar parpol di
Indonesia tidak memiliki ideologi. Kalaupun ada, yang disebut ideologi itu tak
lebih hanya aksesori, tidak menjadi acuan dalam tingkah laku para elite dan
dalam perjuangan politik partai bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan ideologi
itu hanya simbolis. Kita dapat melihat contoh apa yang terjadi di PDI-P. Kalau
memang benar PDI-P sungguh commit pada wong cilik, mengapa itu tidak tercermin
dalam tingkah laku para elite atau kebijakan di legislatif? Juga kenapa kalau
ideologisnya nasionalis, pada pemerintahan Megawati, banyak aset negara dijual?
Elite partai seharusnya melihat kembali apakah ideologinya itu masih relevan
atau tidak. Ideologi harus dapat menjadi semacam safety belt dalam situasi
seperti apa pun.
Di PAN, hal itu ditunjukkan oleh sikap PAN dalam penyusunan calon anggota legislatif yang masih melihat apakah calon bersangkutan Muhammadiyah atau bukan.
Di PAN, hal itu ditunjukkan oleh sikap PAN dalam penyusunan calon anggota legislatif yang masih melihat apakah calon bersangkutan Muhammadiyah atau bukan.
Padahal, partai ini selalu mengklaim dirinya sebagai
partai terbuka. Hal yang sama terjadi di PKB. Menurut pengamat politik dari
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi,
partai-partai politik di Indonesia sebenarnya belum menjalankan kodratnya
sebagaimana layaknya sebuah parpol seperti dipraktikkan di negara-negara lain,
terutama negara-negara maju. Di negara-negara maju, partai-partai politik
memiliki tiga fungsi atau tripartit, yakni fungsi dalam pemilu, fungsi dalam
organisasi, dan fungsi dalam pemerintahan. Dalam pemilu, partai harus bisa
menyederhanakan pilihan-pilihan bagi para pemilihnya, mendidik warga negara,
memproduksi (generate) simbol-simbol untuk mengikat kesetiaan, dan memobilisasi
masyarakat untuk berpartisipasi. Dalam organisasi, partai-partai politik
melakukan rekrutmen, pelatihan, artikulasi kepentingan, dan agregasi. Sementara
dalam pemerintahan, mereka harus menciptakan mayoritas, mengorganisasikan
pemerintahan, mengimplementasikan kebijakan, mengorganisasikan perbedaan,
menjamin pertanggungjawaban, dan melakukan kontrol. Dari semua fungsi itu, yang
sudah dijalankan oleh partai-partai politik di Indonesia baru rekrutmen, dalam
arti menempatkan orang-orang jika ia berhasil memobilisasi massa untuk
berkuasa.
Kegagalan partai-partai politik menjalankan fungsi
yang lain disebabkan mereka tidak memiliki ideologi atau cita-cita partai yang
inklusif dan dilaksanakan dengan baik. Beberapa partai nasional yang ada,
seperti PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan Partai Demokrat, dinilai juga terlalu
pragmatis sehingga memungkinkan terjadinya shady deals atau deal-deal yang
sangat tricky, yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan
berkuasa, tentunya mereka punya akses ke hal-hal yang bisa menambah sesuatu
yang selama ini diburu, yakni kekayaan. Tak pelak memang sesederhana itu
politik di Indonesia sekarang ini.
Kita dapat melihat bahwa apa yang disebut sebagai ideologi oleh partai-partai yang ada sekarang ini baru sebatas rumusan dan belum merupakan nilai-nilai yang diinternalisasikan ke para kader. Dari puluhan partai yang ada, baru PKS yang dinilai memiliki konsep nilai-nilai yang diinternalisasikan ke para kader ini dan dilaksanakan.
Kita dapat melihat bahwa apa yang disebut sebagai ideologi oleh partai-partai yang ada sekarang ini baru sebatas rumusan dan belum merupakan nilai-nilai yang diinternalisasikan ke para kader. Dari puluhan partai yang ada, baru PKS yang dinilai memiliki konsep nilai-nilai yang diinternalisasikan ke para kader ini dan dilaksanakan.
Sementara partai-partai politik yang lain terlalu
pragmatis dan menjurus sangat oportunistis sehingga yang ingin dicapai hanya
jalan pintas untuk berkuasa. Partai menjadi satu-satunya instrumen yang bisa mengubah
nasib orang yang tak jelas menjadi orang yang berkuasa. Ke depan, jika
partai-partai ini tak bisa membangun suatu ideologi yang solid dan inklusif
serta tak bisa mengurus kader-kader, dapat kita prediksikan bahwa dalam Pemilu
2009 tak akan terjadi perubahan apa-apa. Partai-partai politik akan disaingi
oleh tokoh-tokoh individual yang bisa jadi lebih besar dari partainya itu
sendiri. Contohnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat-nya
pada pemilihan presiden langsung tahun 2004 lalu. Hal sama bisa terjadi pada
pemilu legislatif jika pemilu legislatif nanti dilakukan lebih langsung.
E. MASA DEPAN IDEOLOGI POLITIK INDONESIA
E. MASA DEPAN IDEOLOGI POLITIK INDONESIA
Masa depan ideologi politik Indonesia masih belum
jelas bahkan akan terus cenderung diwarnai dengan pengaruh kapitalisme global
yang mengawinkan secara manis antara politik dan bisnis. Dan ideologi politik
akan bertindak sebagai mas kawinnya. Pengalaman pesta politik dalam Pemilu 2004
lalu, dari 237 parpol yang mendaftar ke Departemen Kehakiman dan HAM, hanya 50
parpol dinyatakan lolos verifikasi administratif. Lalu, 24 dari 50 parpol itu
dinyatakan lolos verifikasi faktual dan berhak ikut Pemilu 2004. Artinya, hanya
10,13% dari parpol yang berdiri dinyatakan layak mewakili suara rakyat
Indonesia. Dinyatakan "lebih alamiah", sebab persyaratan yang harus
dipenuhi oleh parpol (melalui UU Nomor 31/2002, UU Nomor 12/2003, UU Nomor
22/2003, dan UU Nomor 23/2003) menggunakan logika bottom up, melihat
faktualitas partai dari tataran akar rumput politik.
Namun cara pengurangan yang bisa disebut
"benar-benar alamiah" adalah apabila jumlah parpol itu turun melalui
mekanisme pemilihan kualifikasi. Mengapa kita yakin jumlah parpol tidak lebih
dari 10 jika proses yang "benar-benar alamiah" dilaksanakan? Hal ini
terkait dengan realitas bahwa ideologi politik masyarakat Indonesia tidak
sekompleks bayangan orang. Konkretnya, jumlah parpol yang banyak itu tidak
identik dengan banyaknya ideologi.
Bila kita amati sejarah politik (khususnya pemilu) di Indonesia, maka sebenarnya hanya ada tiga kutub ideologi dalam masyarakat Indonesia. Yaitu nasionalisme, religius, dan sosialis. Ketiga kutub ini membentuk poros nasionalis-religius, nasionalis-sosialis, dan religius-sosialis. Semua parpol yang (pernah) ada dengan pola pikir pragmatis yang dikembangkan, hanya varian dari tiga kutub ideologi ini dan tersebar di ketiga poros yang terbentuk.
Bila kita amati sejarah politik (khususnya pemilu) di Indonesia, maka sebenarnya hanya ada tiga kutub ideologi dalam masyarakat Indonesia. Yaitu nasionalisme, religius, dan sosialis. Ketiga kutub ini membentuk poros nasionalis-religius, nasionalis-sosialis, dan religius-sosialis. Semua parpol yang (pernah) ada dengan pola pikir pragmatis yang dikembangkan, hanya varian dari tiga kutub ideologi ini dan tersebar di ketiga poros yang terbentuk.
Dari 237 parpol yang muncul, diketahui 48% lahir dari
poros nasionalis-sosialis, 36% dari poros nasionalis-religius, dan 16% dari
poros religius-sosialis. Dari 24 parpol peserta Pemilu 2004, diketahui 70% dari
poros nasionalis-sosialis, 25% dari poros nasionalis-religius, dan 5% dari
poros religius-sosialis. Angka-angka statistik ini menunjukkan, kecenderungan
(tren) Pemilu 2004 adalah perebutan suara di ladang nasionalis-sosialis yang
selama ini "dikuasai" oleh PDI-P dan Golkar. Bila melihat "suara
lepas" (besarnya kantong suara yang belum dikuasai oleh PDI-P dan Golkar
di kelompok ini) yang hanya 5,279%, maka bisa diduga akan terjadi pertarungan
habis-habisan antarparpol kelompok nasionalis-sosialis. Apalagi, simulasi
statistik menunjukkan bahwa dua penguasa kelompok ini memiliki derajat
fragmentasi yang sangat tinggi. Konkretnya, mereka mudah pecah, mretheli kata
orang Jawa.
Ideologi politik Indonesia masih diharapkan untuk
benar-benar ideal dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan Indonesia
seutuhnya. Kehadirannya bisa jadi memicu konsolidasi antarkekuatan reformis
yang sejauh ini memang terfragmentasi. Kalau ini yang terjadi, bisa dipastikan
Pemilu 2004 menjadi pertaruhan terakhir kelanjutan gerakan Reformasi 1998.
Kalau boleh jujur, tampaknya tak peduli ideologi politik sebuah partai di
Indonesia itu apa, tokh sesungguhnya mereka sama saja. Hampir di seluruh dunia
dewasa ini dengan munculnya ‘satu ideologi’, dimana partai-partai memiliki
kebijakan yang sama tentang persoalan-persoalan kunci seperti pajak dan
kesejahteraan, yang hampir tidak mungkin dibedakan secara jelas, pemilih gagal
mengembangkan keteguhan rasa identitas partai dan semakin enggan menawarkan
kesetiaan abadi pada partai politik.
Jika kecenderungan ini berlanjut, telah dimulai sejak
Pemilu 2004, lebih kurang dari setengah populasi Indonesia memihak kepada
politik apa saja, yang membuat hasil pemilihan menjadi sangat tidak stabil dan
tidak dapat diprediksi.
Perasaan terasing pasif yang dialami publik mewujudkan dirinya dengan cara lain, seperti menarik diri dari urusan publik bersama-sama. Karena pemerintah Indonesia saat ini masih belum mampu lepas dari pengaruh kapitalis global. Pemerintah saat ini seperti kupu-kpu yang terjebak dalam jaringan kompleks pasar. Para pemilih melihat apapun ideologi politik yang dianut suatu partai, pada akhirnya tetap akan melahirkan pemerintahan dengan para politisi yang tunduk pada perintah perusahaan yang telah memodali proses kampanye partainya. Mereka sadar bahwa retorika politik yang didengar tidak diterjemahkan menjadi realitas nyata; mereka merasa bahwa dalam banyak hal politisi telah terlibat dalam perjanjian rahasia dengan bisnis sehingga mereka semakin berpaling dari politik.
Perasaan terasing pasif yang dialami publik mewujudkan dirinya dengan cara lain, seperti menarik diri dari urusan publik bersama-sama. Karena pemerintah Indonesia saat ini masih belum mampu lepas dari pengaruh kapitalis global. Pemerintah saat ini seperti kupu-kpu yang terjebak dalam jaringan kompleks pasar. Para pemilih melihat apapun ideologi politik yang dianut suatu partai, pada akhirnya tetap akan melahirkan pemerintahan dengan para politisi yang tunduk pada perintah perusahaan yang telah memodali proses kampanye partainya. Mereka sadar bahwa retorika politik yang didengar tidak diterjemahkan menjadi realitas nyata; mereka merasa bahwa dalam banyak hal politisi telah terlibat dalam perjanjian rahasia dengan bisnis sehingga mereka semakin berpaling dari politik.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2004 (Cetakan ke-26). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hertz, Noreena. 2005. PERAMPOK NEGARA; Kuasa Kapitalisme Global & Kematian Demokrasi. Yogyakarta: Alenia.
Kaelan.
2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kompas. 7
Mei 2005. Demokratisasi Partai Politik: Krisis Identitas dan Ideologi yang
Hilang
Pontoh, Rudy
S. 2004. Janji-janji dan Komitmen SBY-Jk; Menabur Kata Menanti Bukti. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soehino.
2000. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Syarbaini,
Syahrial. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia
No comments:
Post a Comment